Naskah Legenda Sri Dempok Candi Tawangalun, Buncitan, Sidoarjo
Penulis: Harum Munazharoh dan Hafid Maulana
Penyunting: Abdul Kholiq
Cetakan 1: 2024
Halaman: x + 82
Ukuran: 14,8 x 21 cm
Alkisah Dewi Sri sedang melaksanakan tugasnya menumbuhsuburkan tanaman padi ke seantero negeri. Sampailah ia ke daerah pesisir yang ditumbuhi gunung muda. Di tempat itu Dewi Sri berjumpa dengan seorang pemuda nelayan gagah perkasa dan jatuh cinta, begitu sebaliknya Si Pemuda. Selama 300 tahun Dewi Sri tinggal di tempat itu, selama itu pulalah tak sebatang padi pun tumbuh. Tugas yang berlarut-larut, sukar, dan dapat dikatakan gagal itu sama sekali tak membuat Dewi Sri mengeluh. Bak sepasang manusia jatuh cinta, demikian pula Si Pemuda. Berkat cinta, dirinya awet muda. Tak tampak guratan garis-garis wajah seiring bertambahnya usia.
Tibalah suatu masa, Pandawa bertandang menemui sekaligus memeriksa tugas Dewi Sri. Betapa heran para Pandawa akan peristiwa ini. Seorang peri yang hanya membutuhkan sekedipan mata menumbuhsuburkan suatu negri, kini membutuhkan waktu tiga abad lamanya. Ini tidak lazim. Lahan gersang paceklik hingga panen menjadi lumbung padi hanyalah persoalan sejentik kuku bagi Dewi Sri. Namun di negri ini, Pandawa harus turun tangan.
Para dewata merasa perlu mengutus Pandawa untuk memberikan peringatan. Bagaimana upaya Pandawa memberikan peringatan? Bagaimana penerimaan Alun dan Dewi Sri? Menarik untuk ditelisik lebih jauh, kenapa kerja keras Dewi Sri selama ini sia-sia padahal dia tetap melakukan daya upaya seperti hari-hari sebelumnya? Menarik lagi jika hal tersebut dikaitkan dengan sikap Alun dalam menerima keputusan dewata. Sungguh, naskah Sri Dempok ini selain bisa jadi lakon panggung yang menarik juga sangat berpotensi menjadi salah satu kajian kritis yang membuka sekat-sekat tradisi dalam kaitannya dengan hegemonic masculinity.