
“Hardono Arivianto hanya bisa termenung dan pasrah saat dokter memvonis dirinya harus cuci darah. Manakala mimpi dan harapan masih jauh terbentang, ia dihadapkan pada mimpi buruk masa depannya. Sempat selama tiga bulan bapak beranak dua ini mengurung diri dan larut dengan penyakitnya. Apalagi saat tahu bahwa dirinya harus menjalani cuci darah seumur hidup. Namun ujian hidup yang dialaminya tak membuat Pak Hardono terus-menerus meratapi nasib. Beruntung ia memiliki istri yang begitu setia, selalu mensuportnya di saat suka maupun duka, dan bahkan rela menawarkan ginjalnya untuk sang suami. Yang rusak kan ginjal kita. Organ yang lain masih berfungsi. “Mari kita jaga dengan berolahraga. Gagal Ginjal bukan berarti gagal hidup, demikian kata-kata yang selalu ia ucapkan…..” .
Kisah di atas hanyalah sepenggal dari jurai kisah para pasien hemodialisis yang mampu membangkitkan asa. Melalui buku yang sengaja ditulis untuk membangkitkan semangat pasien cuci darah ini, penulis menyelipkan weling bahwa penyakit gagal ginjal dan vonis cuci darah bukanlah bom atom yang akan memorakporandakan hidup atau meruntuhkan semua mimpi, harapan, dan cita-cita. Dari korpus kisah ginjal para pasien cuci darah ini, kitayang masih dianugerahi kesehatan bisa belajar dari para ibu, suami, istri, dan pribadi-pribadi perkasa bahwa di balik airmata dukacita dan keputusasaan, masih ada sejumput harapan yang bisa diperjuangkan dan tawa bahagia yang bisa dibagikan kepada orang lain. Semoga kehadiran memoar Jiwa-jiwa Bermesin ini mampu menyulut motivasi, membakar semangat, membangkitkan asa, dan mengikis rasa putus asa para pasien hemodialisis lainnya.